Jumat, 18 September 2015

Sang Sutradara

        Hari-hariku berubah ketika bertemu dengannya. Sekali, dua kali, dan berakhir dengan awal yang baru. Berbeda dengan sebelumnya, yang awalnya dia hanyalah makhluk yang berambut panjang dan konyol, berubah menjadi menawan dan indah. Indah dan semakin indah ketika hari-hariku mulai berubah. Bulu disekitar tengkuk berdiri mendengar namanya, hati gelisah mengingat senyumnya, airmata tumpah melihat dia berbicara dengan lelaki lain. Membuatku gila dan semakin sakit setiap detiknya. "penyakit yang pengidapnya menginginkan untuk ditambah penyakitnya"  kata seorang yang bijaksana.
      Malam itu ia duduk tepat didepanku. Menatap layar penuh lirik lagu yang biasa-biasa saja. Biasa-biasa saja? Itu lagu favoritku. Tidak lagi, dia lagu favoritku mulai sekarang. Kulihat rambut warna coklat, hoody warna gelap, dan celana jeans hitamnya. Ia menoleh kearahku dan mendekat. Sapaan hangat sebagai kawan, dan mengobrol layaknya sahabat dekat.'Aku baru mengenalnya bulan lalu, tapi ia sehangat ini padaku' kataku dalam hati. Haaahh.. Bodooh.. Dia hanya menganggapmu kenalan baru.
     Titik puncak kehangatan ia beri pada saat yang sama ketika ia menghilang. Ia mencintai pria lain selama ini. Sakit, dan satu-satunya sakit yang bisa kunikmati adalah cinta. Terkikis oleh waktu dan ketidakbersamaan lagi saat itu. Hilang tapi meninggalkan jejak, seakan dia sengaja agar aku terus mengikutinya. Mengikuti agar pada waktu yang tepat dapat menolongnya sebelum jatuh kedasar jurang. Akalku telah hilang, yang ada hanya jejak kakinya.
        Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Jejak telah hilang, dan bayangannya telah sampai diujung cahaya sebatang lilin. Terus berjalan mencari bagian diriku yang lain, dan berhenti dipersimpangan jalan untuk istirahat sejenak. Menghisap tembakau terasa mulai membosankan. Aku butuh kopi.
      Cahaya lilin mulai pudar karena angin. Kehampaan total tanpa cahaya, suara, dan udara membuatku haus. Aku butuh secangkir kopi. Setelah lama berakting menjadi subjek dipanggung sandiwara buatan tuhan, aku ingin berontak. "hey sutradara.. Aku bosan dengan perankuuu.."  Sutradara hanya tersenyum dan berlalu "Filmmu telah usai. Sekarang kita mulai film baru."
      Bosan menunggu peranku yang baru, seorang wanita yang tidak asing keluar dari ruang makeup dan memasuki panggung. Yaa.. Dia lagi, dia tetap menawan seperti dulu. Duduk tepat didepanku dan mulai berkata "gimana kehidupan?" hahahahahahaha... Kilmah-kilmah esoteris menyelubungi relung hati dan terjewantahkan melalui sosoknya. Pada saat itu, jika seseorang bertanya padaku tentang arti estetika, maka jawaban yang paling tepat hanyalah "dia".
      Sekarang disini aku hanya menunggu peranku selanjutnya, tuhan yang misterius hanya tersenyum dan berlalu. Aku turun dari panggung dan terlihat note yang ditinggalkan sang sutradara. "KAU PILIH PERANMU SENDIRI". Aku kedapur untuk menyeduh kopi kesukaanku. Kopi sidomukti.
      
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar