Rabu, 10 Desember 2014

Jalan braga


Malam ini terasa lain dari malam-malam yang lalu. Dunia seakan lebih lambat, bulan purnama tertutupi oleh awan hitam,kabut tebal menghalangi pandangan beberapa meter didepan.  Trenchcoat coklat dan sepatu boot panjang yang hangat menjadi beban langkahku. Suasana sepi makin memburuk ketika anjing kerempeng penuh luka cakaran melangkah persis didepanku. 
Suasana hati gundah membuatku menelan ludah beberapa kali. Keringat dingin mengucur deras bersamaan tangan yang sedikit gemetar. Bagaimana tidak, sendirian ditengah malam disudut kota yang kata kabar burung adalah kota para iblis. Pencahayaan yang sangat minim dan tak tahu apa yang ada 10 meter didepanku membuat jalanku melambat dari biasanya. Ku telusuri jalan dengan tembok-tembok bangunan yang penuh dengan gravity merah, mungkin bukan pilok, mungkin darah yang digunakan untuk menuangkan kreatifitas mereka. Tak sampai satu blok didepanku, kumelihat anak perempuan berusia 10tahun mengenakan jaket hitam dan celana jeans belel sedang merapihkan koran baru yang berserakan ditrotoar. Kumendekatinya untuk membantu merapihkan koran. Anak itu mengetahui kedatanganku dan menatapku sayu.  Kumelihat beberapa luka yang masih segar disudut bibirnya. Sampai dihadapannya kucoba untuk mengulurkan tanganku ketumpukan koran yang baru dicetak itu, ia mencekram tanganku dan berkata dengan sombong "bukan tugas orang kaya untuk merapihkan koran ini. tugasmu hanya membeli koran,membaca tentang diriku didalamnya, merasa kasihan kepada anak gelandangan, dan menutup jendela mobil ketika anak tersebut meminta uang receh yang berserakan dirumahmu". Kutersentak menahan hinaan anak itu. Kuambil sedikit uang disaku celana dan memberikan kepadanya. Ia mengambilnya dengan kasar, dan pergi menghilang ditelan kabut tebal dibelakangku. 
Jalanku semakin lunglai memikirkan kata demi kata yang dilontarkan anak itu. 'Aku sering melakukannya' kataku didalam hati. semakin aku mengatakannya aku semakin menyesal dengan tindakan bodohku selama ini.
Pikiranku buyar seketika, ketika suara tembakan merambat melalui udara. Sekali, dua kali dan tepat didepanku seorang lelaki bertampang rapih memegang pistol desert eagle kaliber  50 dengan senyum puas setelah menembaki kakinya sendiri. Sebelum sempat aku bertanya tentang apa yang ia lakukan, ia menangis dan berkata "apakah kau melihat gadis pembawa koran tadi? Aku yang memukulnya. Dia mengatakan hal yang membuat diriku merasa menyesal dengan perbuatanku selama ini". Aku terperanjat lalu bertanya "apa yang ia katakan padamu?". Darah dibetisnya terus menyembur, pelupuk matanya dipenuhi airmata, ia meringis kesakitan dan berkata "aku berjalan mencari bar disekitar sini sebelum akhirnya kubertemu dengan gadis sialan itu. Aku bertanya padanya 'dimana letak bar disekitar sini'. Ia menjawab dengan nada mengejekku 'semoga Tuhan menyikat sepatumu yang mahal itu. Disini bukan tempat orang kaya pemabuk sepertimu dan bukan tempat orang bodoh yang menghabiskan sisa hidupnya untuk mengisi perutnya dengan minuman berbau kencing, sedangkan orang miskin duduk didepan bar mengharapkan seteguk air' ". Aku bertanya lagi "lalu kenapa kau menembak kakimu sendiri?". Ia menjawab "terkutuklah diriku,pergilah beberapa blok dari sini dan kau akan tahu jawabannya". Aku berlari beberapa blok dari tempat orang kaya yang sedikit gila tadi, lalu kujumpai sahabatku agil sedang bersandar ditembok dengan rokok ditangannya dan menangis. Aku mendatanginya, dan ia berkata "aku memanggilmu kesini untuk melihat itu" sambil menunjuk kearah kerumunan pedagang koran sedang memikul beras dipunggungnya. Aku bertanya pada agil "kenapa gil dengan semua ini?". Agil menghisap tembakaunya dan berkata "mereka sendiri yg menyebarkan bahwa daerah ini adalah daerah iblis, agar orang-orang enggan datang dan tidak mengetahui apa yang mereka lakukan disini. Mereka mengumpulkan uang hasil usahanya dan membaginya kefakir miskin dalam bentuk beras". Aku hanya bisa menggeleng kepala, lalu agil menambahkan "apa yang sudah kita perbuat untuk mereka? Mereka tersenyum gembira, Tuhan tersenyum karena mereka". Aku dan agil bangkit dan berjalan kearah tumpukan karung beras. Mungkin lain kali aku dapat mengangkat karung berasku sendiri ditempat ini.

Ali sajjad, 10 desember 2014. 21.30

Cerpen Kopi sidomukti


Sore hari ku duduk dipelataran rumah didesa, disalah satu kota yang miskin dan kumuh. Pemilik rumah yang bernama agil membawakanku secangkir kopi hitam tanpa gula. Kutatap tumpukan sampah dan mulai menyerutup kopi buatan agil, lalu terlintas diotak ku sepercik keraguan. "Gil, dengan gaya parlente dan wajah berkarisma sepertimu, saya heran mengapa kamu tinggal didesa penuh sampah ini. Setahuku, orang tuamu pengusaha yang cukup dipandang dikota" . Agil meletakan rokok dimulutnya lalu membakarnya. setelah isepan pertama ia membuang asap dan berkata "Coba perhatikan tempat sampah itu li, paling lama setengah jam lagi bakal tau jawabannya sendiri" lalu ia kembali menghisap kelintingan tembakaunya. Sekitar 25 menit yaitu ketika hanya tersisa ampas dicangkirku, seorang anak kecil dan orang tua dengan karung dipunggungnya mulai memilah-milah tumpukan sampah didepan mereka. Sang anak tiba-tiba tersenyum gembira dan berteriak kegirangan. Kumelihat ia mengangkat sehelai baju bekas yang masih terlihat bagus,dan seukuran dengannya. Ku menghela nafas panjang lalu ku bergumam "kasihan anak kecil itu, hanya...". Gumamanku terputus ketika agil memegang pundakku. Aku tersentak melihatnya menangis. Dia membuang rokoknya lalu berkata "bukan itu li yang kumaksud. Aku tinggal disini bukan untuk mengasihani anak itu. Aku kesini hanya ingin belajar dari mereka tentang arti kebahagiaan. Kebahagiaan bukan kemewahan,bukan rumahku,bukan ilmu yang banyak,bukan baju dan mobil yang kugunakan. Ia mengajarkanku arti syukur dan kepuasan. Merasa cukup dan bersyukur atas apa yang kita miliki adalah kebahagiaan. Ia bisa tersenyum hanya dengan mendapatkan baju bekas yang telah menjadi sampah, tapi ayahku bahkan marah ketika kemeja 600ribunya agak sedikit kusut". Air mata membasahi kedua pipiku tanpa bisa berkata apa-apa. Kuambil cangkirku untuk membuat kopi kedua disore hari ini. Tuhan tak sia sia menciptakan kopi untuk mengobrol dengan sahabatku ini. Hmmm... kopi sidomukti mereknya.
9desember 2014. 23:37