Jumat, 03 Juli 2015

Erangan pendosa

   Ya akulah sang pendosa kata mereka.  Pemilik hati hampir menjadi legenda, mungkin fabel. Sayaang maafkan aku.. Dirimu tak seindah dulu. Dulu kau membuatku malu dengan tatapanmu, sekarang kau hanya tertunduk. Dulu senyummu membuatku susah membedakan rumahku dan rumahmu,  sekarang kau tersenyum sambil menunduk. Dulu pandanganmu saat melangkah membuatku mati sejenak, kini kau melangkah, tersenyum, dan tetap menunduk. Hahaha.. Mereka menyebutku pendosa.
    Secarik surat cinta hanya bualan, senandung alunan gitar hanya perangsang, kebun mawar menjadi beton bertingkat. Lalu apa yang harus kuperbuat dengan hatiku? Aku yang mengharapkan sentuhan kulitmu tak berdaya jika harus menyentuhnya melalui layar.  Sayang... Maafkan aku.. Kau tak seindah dulu. Wajahku tak setampan wajah ditanganmu, suaraku tak semerdu suara ditanganmu, badanku tak semolek badan ditanganmu. "mencintai adalah sebagian dari iman" kata pengajar disekolahku. Hahaha.. Kau sekarang hanya mencintai apa yang ada ditanganmu.
   Mimpi indah. Bermimpi hidup dipegunungan yang mengalir sungai indah dan taman bunga disisinya hanyalah dusta. Mimpi indah saat terbangun diatas kendaraan mewah yang kau impikan sekarang. Bermimpi ketika pengeran tampan membawamu dengan kudanya hanyalah dusta. Kau hanya membutuhkan pria berjas yang membawamu kekantor dengan koper penuh uang. Dan selebihnya kau hanya tertunduk melihat benda ditanganmu.
   Azan asar mulai bergema dan aku mengayuh pedal sepedaku dengan cepat. Sang pendosa bergegas sedang para alim sedang tertawa mengejek pengemis yang lewat.  Salam atas mereka yang menggantikan secarik surat cinta dengan kertas berangka,  salam atas mereka yang menggantikan setangkai mawar dengan segenggam alat suntik. Dunia tertawa dan sipendosa menangis mengayuh sepedanya kepemakaman tempat dikumandangkannya azan.