Kamis, 12 Maret 2015

MAHASISWA DAN PENJUAL TISU


            Aku duduk disebuah kantin universitas yang sangat masyhur dinegri ini, yang tidak jauh dari kampus tempatku sekolah. Suasana yang ramai dengan cuaca yang mendukung untuk menyantap beberapa makanan kesukaanku seolah terasa hitam putih sesaat ketika aku melihat pemuda tampan dengan celana jeans belel dan kemeja body fitnya sedang merangkul anak kecil dekil dengan selusin tisu ditangannya. Aku menyantap ayam gorengku sambil melihat pemuda tersebut yang kebetulan duduk tepat disebrang mejaku. Dia berbicara kepada anak tersebut dengan senyum yang ramah. Tak lama kemudian anak tersebut melambaikan tangan kepada teman sesama penjual tisu, kemudian datang lah si anak yang satunya lagi dengan meloncat-loncat kegirangan. Ada apa dengan pemuda ini? Ia begitu tampan dan nampak jelas bahwa ia kaya tapi ia malah berkerumun dengan pengemis pengemis kecil berbadan dekil yang kuyakin badannya sangat bau.
            Leherku tersedat saat menyedot minumanku ketika melihat pemuda itu mencium kening dan tangan dari penjual tisu tersebut. Aku memindahkan makanan dan minumanku ketempat yang lebih dekat dengannya, agar dapat mendengar percakapan pemuda dengan 2 anak tersebut. “Kak, aku dan saudaraku belum makan siang.” Kata salah satu dari mereka. Pemuda itu mengeluarkan uang dari dalam kantongnya dan berkata “Wah kebetulan. Pesankan makanan juga buatku yang sama dengan kalian, dan makanlah bersamaku”
            2 anak tersebut datang dengan membawa 3 piring makanan, dan 3 gelas minuman. “kak. Coba manusia semuanya seperti kakak, teman-temanku tak kan ada yang mati kelaparan.” Pemuda tersebut hanya menunduk ketika mendengar perkataan dari salah seorang penjual tisu tersebut. Aku melihat setetes airmata yang keluar ketika ia menunduk. Tak lama seekor kucing datang dan meraung seakan ia menuntut hak dari pemuda tersebut karena sudah terbiasa. Yang benar saja, pemuda tersebut memberikan setengah jatahnya untuk dibagi kekucing. “Siapa pemuda ini?” Tanyaku dalam hati yang semakin penasaran.
            Beberapa saat kemudian pemuda itu meminta maaf dan mencium kening kedua anak tadi lalu beranjak dengan tergesa-gesa. Sepertinya ada sesuatu yang mendesak. Aku yang semakin penasaran menghampiri kedua anak tadi untuk bertanya. “Hai.” Sapaku. “Hai kak.. mau beli tisu?” jawab salah seorang dari mereka. “hmmm... boleh deh satu.” Jawabku sambil memberikan uang dan menerima tisu dari mereka. “Hei dek.. boleh gak aku tanya masalah pemuda yang bersama kalian tadi?” tanyaku pada mereka dengan senyum ramah. “ohhh Kak Ahmad? Kenapa emangnya kak?” jawab mereka sambil menunjukan wajah ceria. “ Tolong ceritakan dong tentang kak ahmad kalian itu”.Sejenak mereka berpikir lalu berbisik membuat kesepakatan dan Mereka menjawab dengan semangat “oke kaak.. belikan 2 gelas es teh dan Aku akan ceritakan tentang malaikatku itu”. Aku beranjak dari kursiku dengan cepat dan kembali dengan membawa 2 gelas es teh manis untuk mereka. “Aku akan ceritakan tentang kak ahmad dari awal kami bertemu” kata salah satu dari mereka. “Dia adalah mahasiswa kampus ini. Ketika aku dan saudaraku mulai bekerja untuk menjual tisu disini, aku menawarkan tisu kepadanya. Ia sedang membaca sebuah surat yang kurasa sebuah surat cinta. Ia tersenyum ketika melihat kami dengan airmata yang penuh dikelopak matanya. Aku bertanya padanya ‘kak mau beli tisu?’. Ia menggenggam tanganku dan tangan adikku lalu memeluk kami berdua. Lalu ia berkata dengan air mata yang sudah mengalir dikedua pipinya ‘apakah kalian sudah makan?’ kekami belum sempat menjawab ketika ia sudah mengeluarkan isi dompetnya tanpa melihatnya, lalu memberikannya kepada kami dan berkata ‘belilah makanan sesukamu’. Adikku terperangah melihat uang tersebut. Lalu aku berkata pada adikku ‘Surat cinta bukan sekedar penyelamat bagi yang mendapatkannya. Ia juga penyelamat bagi mereka yang kelaparan'. Kemudian kak ahmad tersenyum mendengar perkataanku itu dan mengecup kening kami. Ia pamit untuk pergi menemui seseorang,dan kami disuruh untuk menemuinya disini setiap hari”.
            Aku tak berkedip sedikitpun mendengar tiap untaian kalimat yang keluar dari mulut anak kecil dekil yang begitu cerdas ini. Mereka berhenti bercerita bersamaan dengan habisnya es teh digelas mereka. Mereka beranjak dari kursi mereka dan berpamitan untuk pulang. Aku berkata pada mereka “Satu pertanyaan lagi dan aku akan membeli lagi tisu kalian”. “katakanlah” kata mereka bersamaan. “kenapa ia begitu tergesa-gesa ketika pergi tadi?” tanyaku. Mereka tersenyum dan berkata “Panggilan kekasih lebih utama dari kami”. Bersamaan dengan menghilangnya mereka dari jarak pandang, berkumandanglah adzan asar. Aku hanya bisa tersenyum dan menangis.

                Ali sajjad. 12 maret 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar