Aku duduk
disebuah kantin universitas yang sangat masyhur dinegri ini, yang tidak jauh
dari kampus tempatku sekolah. Suasana yang ramai dengan cuaca yang mendukung
untuk menyantap beberapa makanan kesukaanku seolah terasa hitam putih sesaat
ketika aku melihat pemuda tampan dengan celana jeans belel dan kemeja body
fitnya sedang merangkul anak kecil dekil dengan selusin tisu ditangannya. Aku
menyantap ayam gorengku sambil melihat pemuda tersebut yang kebetulan duduk
tepat disebrang mejaku. Dia berbicara kepada anak tersebut dengan senyum yang
ramah. Tak lama kemudian anak tersebut melambaikan tangan kepada teman sesama penjual
tisu, kemudian datang lah si anak yang satunya lagi dengan meloncat-loncat
kegirangan. Ada apa dengan pemuda ini? Ia begitu tampan dan nampak jelas bahwa ia kaya tapi ia malah berkerumun dengan pengemis pengemis kecil berbadan dekil
yang kuyakin badannya sangat bau.
Leherku
tersedat saat menyedot minumanku ketika melihat pemuda itu mencium kening dan
tangan dari penjual tisu tersebut. Aku memindahkan makanan dan minumanku
ketempat yang lebih dekat dengannya, agar dapat mendengar percakapan pemuda
dengan 2 anak tersebut. “Kak, aku dan saudaraku belum makan siang.” Kata salah
satu dari mereka. Pemuda itu mengeluarkan uang dari dalam kantongnya dan
berkata “Wah kebetulan. Pesankan makanan juga buatku yang sama dengan kalian,
dan makanlah bersamaku”
2 anak
tersebut datang dengan membawa 3 piring makanan, dan 3 gelas minuman. “kak. Coba
manusia semuanya seperti kakak, teman-temanku tak kan ada yang mati kelaparan.”
Pemuda tersebut hanya menunduk ketika mendengar perkataan dari salah seorang
penjual tisu tersebut. Aku melihat setetes airmata yang keluar ketika ia
menunduk. Tak lama seekor kucing datang dan meraung seakan ia
menuntut hak dari pemuda tersebut karena sudah terbiasa. Yang benar saja,
pemuda tersebut memberikan setengah jatahnya untuk dibagi kekucing. “Siapa pemuda
ini?” Tanyaku dalam hati yang semakin penasaran.
Beberapa
saat kemudian pemuda itu meminta maaf dan mencium kening kedua anak tadi lalu
beranjak dengan tergesa-gesa. Sepertinya ada sesuatu yang mendesak. Aku yang
semakin penasaran menghampiri kedua anak tadi untuk bertanya. “Hai.” Sapaku. “Hai
kak.. mau beli tisu?” jawab salah seorang dari mereka. “hmmm... boleh deh satu.”
Jawabku sambil memberikan uang dan menerima tisu dari mereka. “Hei dek.. boleh
gak aku tanya masalah pemuda yang bersama kalian tadi?” tanyaku pada mereka dengan senyum ramah. “ohhh
Kak Ahmad? Kenapa emangnya kak?” jawab mereka sambil menunjukan wajah ceria. “
Tolong ceritakan dong tentang kak ahmad kalian itu”.Sejenak mereka berpikir lalu berbisik membuat kesepakatan dan Mereka menjawab dengan
semangat “oke kaak.. belikan 2 gelas es teh dan Aku akan ceritakan tentang
malaikatku itu”. Aku beranjak dari kursiku dengan cepat dan kembali dengan
membawa 2 gelas es teh manis untuk mereka. “Aku akan ceritakan tentang kak
ahmad dari awal kami bertemu” kata salah satu dari mereka. “Dia adalah mahasiswa
kampus ini. Ketika aku dan saudaraku mulai bekerja untuk menjual tisu disini,
aku menawarkan tisu kepadanya. Ia sedang membaca sebuah surat yang kurasa
sebuah surat cinta. Ia tersenyum ketika melihat kami dengan airmata yang penuh
dikelopak matanya. Aku bertanya padanya ‘kak mau beli tisu?’. Ia menggenggam
tanganku dan tangan adikku lalu memeluk kami berdua. Lalu ia berkata dengan air
mata yang sudah mengalir dikedua pipinya ‘apakah kalian sudah makan?’ kekami belum sempat menjawab ketika ia sudah mengeluarkan isi dompetnya tanpa melihatnya, lalu memberikannya
kepada kami dan berkata ‘belilah makanan sesukamu’. Adikku terperangah melihat
uang tersebut. Lalu aku berkata pada adikku ‘Surat cinta bukan sekedar penyelamat bagi yang mendapatkannya. Ia juga penyelamat bagi mereka yang
kelaparan'. Kemudian kak ahmad tersenyum mendengar perkataanku itu dan mengecup
kening kami. Ia pamit untuk pergi menemui seseorang,dan kami disuruh untuk
menemuinya disini setiap hari”.
Aku tak
berkedip sedikitpun mendengar tiap untaian kalimat yang keluar dari mulut anak
kecil dekil yang begitu cerdas ini. Mereka berhenti bercerita bersamaan dengan
habisnya es teh digelas mereka. Mereka beranjak dari kursi mereka dan
berpamitan untuk pulang. Aku berkata pada mereka “Satu pertanyaan lagi dan aku
akan membeli lagi tisu kalian”. “katakanlah” kata mereka bersamaan. “kenapa ia
begitu tergesa-gesa ketika pergi tadi?” tanyaku. Mereka tersenyum dan berkata “Panggilan
kekasih lebih utama dari kami”. Bersamaan dengan menghilangnya mereka dari
jarak pandang, berkumandanglah adzan asar. Aku hanya bisa tersenyum dan
menangis.
Ali
sajjad. 12 maret 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar